Cinta
Seharusnya seperti tetesan gerimis dan cahaya
mentari
Datang dengan perlahan
Hilang, terengkuh oleh cahaya keemasan
Sama seperti cinta
Seharusnya meninggalkan kehangatan
Ketika ia pergi.
***
Selatan
Jakarta, 31 Desember 2013. Sebuah kafe dengan interior kayu oak yang
menghangatkan, di tengah gerimis yang mendayu.
Clarissa.
“Silakan, green tea latte anda,” ujar seorang
pramusaji sambil menyodorkan segelas green
tea latte dengan buih putih di atasnya yang terlihat mengepul-ngepul.
Clarissa menerima cangkir
berwarna putih itu dengan senyuman. Dihirupnya green tea latte dalam cangkir sedikit demi sedikit seraya menghembuskan
napas. Sementara matanya tertuju pada embun dari tetesan air hujan yang menuruni
jendela kaca. Di luar, terlihat beberapa bocah berpayung warna-warni yang
dengan setia menawarkan jasa ojek payungnya.
Pandangan Rissa teralih
pada laptop berwarna putih yang terbuka di hadapanku. Ia telah membuka program Microsoft Word sejak setengah jam yang
lalu tetapi hasilnya nihil. Bahkan tak satu huruf pun yang sudah Rissa torehkan
di dalamnya.
Ah,
habislah gue. Deadline besok tapi gue bener-bener nggak kepikiran mau nulis
apa. Gila kali nih editor, mau tahun baru gini masih aja nagihin naskah,
rutuk Rissa dalam hati. Dongkol sedongkol dongkolnya orang dongkol. Rencana
besarnya untuk jalan-jalan ke Bandung naik kereta seperti yang sudah direncanakan
sebelum-sebelumnya gagal total.
Dan rencana Rissa untuk
bertemu dengannya… otomatis juga gagal total.
Ia kemudian menatap wallpaper laptopnya dengan pandangan
nelangsa. Itu foto terakhir Rissa dan dirinya. Ya, dia… Airlangga. Rissa biasa
memanggilnya Angga. Atau kadang-kadang, ia memanggilnya “Mutun”. Singkatan dari
muka kartun.
Menurutnya muka Angga
memang unik—kadang-kadang ia malah menemukan beberapa tokoh komik yang mukanya dinilai
mirip dengannya. Misalnya saja, si Conan Edogawa detektif berkacamata.
Airlangga Putra is calling you. Answer with
video call?
Tiba-tiba terpampang
tulisan pemberitahuan di layar laptop Rissa. Mata sipitnya langsung membulat.
Tapi kali ini mata Rissa benar-benar membulat. Sialnya, kali ini ia sedang
tidak berada di dalam rumah sehingga otomatis ia hanya bisa ber-video call dengan Angga, tanpa suara.
Kecuali kalau ia mau jadi pusat perhatian orang-orang satu kafe.
Hai!
Rissa langsung tersenyum
melihat wajah Angga yang terpampang di layar. Angga nampaknya tahu Rissa sedang
di kafe. Angga tidak bersuara, namun melambaikan tangannya. Sepertinya Angga
baru pulang kuliah. Kemeja kotak-kotak merahnya yang masih terlihat rapi dan terlihat
tumpukan buku di sisi tubuhnya.
Hai
Mutun!!! Baru pulang kuliah?
Angga mengangguk. Senyumnya
masih mengembang.
Tadi
abis UAS mata pelajaran terakhir. Sekarang udah bebas!
Senyuman Rissa berubah
menjadi senyum kecut.
Enak
banget udah bebas. Aku masih ada deadline nih. Help!!!
Angga kemudian menunduk,
seperti mencari sesuatu dalam tasnya. Ia kemudian menunjukkan sebuah boneka
teddy bear yang menggunakan kacamata ke arah kamera sambil tersenyum.
I
bought this for you. Semangat ya nulisnya!
Rissa terpana, benar-benar
kehilangan kata-kata. Senyuman Angga, kata-kata Angga, wajah Angga… semuanya
seperti telepati. Semuanya seperti energi yang perlahan merengkuhnya. Perlahan
mengisi tiap-tiap ujung sendi Rissa yang terasa lemah.
Rissa tersenyum, kemudian melambai
pada kamera.
Kenapa
kamu harus sejauh ini, Ga?
***
Karena cinta, seharusnya seperti hujan pada
bulan November
Meskipun melewati mentari yang bersinar terik
Angin muson yang bertiup riuh
Pada akhirnya hujan akan kembali
Seperti, layaknya, seharusnya.
***
Jalan
Ganesha, Bandung, Jawa Barat. 31 Desember 2013. Sebuah tempat kost yang
didominasi oleh poster-poster The Beatles, Led Zeppelin dan Guns N Roses.
Angga
Lagu Hey Jude milik band
lawas The Beatles terdengar memenuhi kamar kost beukuran 3x4 meter tersebut.
Sementara, Angga sibuk mengepak baju-baju dalam ransel Jansport merah andalannya. Angga menyapukan pandangannya ke seluruh
ruangan, memastikan tidak ada lagi barang yang tertinggal. Tangannya kemudian
meraih boneka teddy bear berkacamata
yang tergeletak di atas kasur dan memandanginya sejenak, sebelum memasukannya
ke dalam ransel.
“Mau pergi, Ga?” tanya
Fathur, teman satu kost Angga sekaligus teman semasa SMA yang sekarang menjadi
teman kampusnya juga.
“He eh,” Angga menjawab singkat, sambil terus
membereskan barang-barangnya. “Ke Jakarta, Thur.”
“Gila kali lo!” sembur
Fathur, matanya yang bulat membelalak. “Udah tanggal berapa nih, Men? Macet
kali jalanan!”
Angga kemudian terdiam,
lalu melemparkan pandangannya ke arah kalender di meja belajarnya. “Tapi gue
harus pulang Thur… Dia mau ulang tahun.”
“Dia?” Fathur menaikkan
kedua alisnya. Ia berjalan mendekati Angga, kemudian duduk di pinggir kasur
Angga dengan wajah penasaran. “Dia siapa?”
“Clarissa...” jawab Angga
dengan suara sendu. Ia menghela napas panjang kemudian duduk di sisi tubuh
Fathur. “Clarissa.”
“Oooh si Rissa!” ujar
Fathur. “Gila, lo balik lagi sama dia? Ckck, sabar banget lo men.”
“Ya abis gimana Thur… udah
cocok gue,” sahut Angga sambil menghela napas. “Tapi, gue nggak pacaran sama
dia.”
Fathur kemudian tertawa
sambil menepuk punggung Angga keras. Angga mengaduh kesakitan. Pukulan Fathur
memang benar-benar keras. Rasanya seperti mematahkan tiap dua belas ruas tulang
punggungnya.
“Sekarang
coba lo sebutin ke gue, apa bedanya hubungan lo dan Rissa sekarang…” Fathur
menatap Angga dengan tajam, namun pandangannya seperti mengejek. “Sama orang
pacaran?”
Angga
kemudian berpikir. Ia menunduk, menatap senyuman Rissa yang terpampang di layar
ponselnya. Senyuman yang begitu cemerlang, senyuman yang begitu hangat,
senyuman yang begitu ia rindukan beberapa bulan belakangan.
Ia dan
Rissa sudah saling mengenal semenjak SMA. Mereka saling mengenal ketika
sama-sama magang di sebuah redaksi koran di Ibukota. Kala itu, mereka adalah satu-satunya
anak kelas dua SMA yang diterima magang diantara belasan mahasiswa dan
mahasiswi. Angga dan Rissa hanya magang selama dua minggu, hanya untuk mengisi
liburan kenaikan kelas.
Tetapi
kemudian, Angga menyadari jika ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya.
Bahkan, setelah dua minggu waktunya bersama Rissa habis.
“Tapi
Rissa dulu masih punya pacar, Thur.” ujar Angga setelah beberapa saat. “Gue
juga sih. Ck, Si Mimpi Buruk gue.”
Fathur
tertawa keras. “Nggak boleh gitu sama mantan. Salah sendiri jadian gak
pilih-pilih dulu, main tembak aja!”
Angga
meringis, memorinya terlempar ke satu tahun yang lalu. Sosok Lady dengan rambut
ikal brunette-nya terpampang jelas
dalam ingatan Angga. Lady, adalah kapten cheers
dulu di SMA Purnabakti. Cantik, berambut cokelat, berbulu mata lentik, tinggi
semampai dan putih luar biasa. Entah setan apa yang merasuki Angga, yang
membuatnya bisa jatuh cinta begitu saja pada Lady.
Cinta
selewatan, yang sengaja ditumbuhkannya dalam rangka melupakan sosok Clarissa.
Bukan bermaksud jahat, Angga hanya ingin mencoba melupakan sosok Clarissa yang
belakangan disadarinya nyaris membuatnya gila. Secara fisik, dibandingkan
dengan Lady, lelaki normal manapun pasti akan lebih memilih Lady.
“Ga,”
panggil Rissa, matanya yang kecil menatap Angga lurus-lurus. “Gue suka hujan
deh.”
Angga
tersenyum, mengoper segelas teh manis hangat pada Rissa. “Gue juga.” Ingin
rasanya disambungnya kalimat barusan dengan kata-kata, Gue juga. Juga suka lo.
“Hujan
itu, punya banyak filosofi,” sambung Rissa, kemudian menyeruput teh dalam
gelas.
Angga
melepas kacamatanya, kemudian membersihkannya dengan ujung kaus. “Gue belom
pernah denger,” ia kemudian memakainya kembali. “Contohnya?”
“Cinta
itu, harusnya seperti hujan dan pelangi,” ujar Rissa, matanya yang kecil
berkilat-kilat. “Tidak peduli seberapa banyak dan hebat badai yang dilewati
oleh dua orang, jika mereka memang benar-benar mengerti apa itu cinta… Pada
akhirnya mereka pasti akan menemukan pelangi.”
Fathur
menepuk bahu Angga. “Woy!”
Angga
tersentak. Ia menoleh pada Fathur. “Gue harus berangkat sekarang Thur!”
“Buru-buru
banget Ga? Percuma men, jalanan udah mulai macet,” komentar Fathur.
Disambarnya
kunci mobil yang ada di meja dan dipakainya jaket berbahan jeans kesayangannya
yang sudah mulai pudar warnanya. Angga kemudian memakai sepatu sneakers-nya dengan buru-buru. Kemudian,
ia berjalan menuju pintu.
“Gue
mungkin balik nanti tanggal 2 atau 3 ya, Thur. Bilangin ke si Ibu, maaf nggak
sempet pamitan.” Pesan Angga, sambil mengarahkan dagu ke arah dapur, tempat
biasa si Ibu Kost mondar-mandir tak tentu arah.
Fathur
hanya mengangguk-angguk bingung seraya mengacungkan jempolnya. “Iya men, liver-liver on the street ye!”
Alis
Angga mengerut. Liver-liver on the
street… hati hati.. Oh ya ampun. “Hati-hati di jalan? Ck, bisa aja lo.
Makasih yah! Gue mau pergi menemukan pelangi dulu ya!”
***
Karena
Cinta, seharusnya
seperti tetesan hujan
Seberat
apapun badai yang menerjang
Sekuat
apapun angin yang bertiup
Hujan
tak akan pernah menyerah
Hingga
ia bertemu dengan Pelangi
Kota Tua, 13 September 2011. Diantara roda
sepeda onthel yang berputar dan aroma kerak telor yang menghangat.
Angga
dan Clarissa.
“Ih
Mutun!” pekik Clarissa, seraya menarik lengan kaos polo hitam Angga.
“Jalannya
pelan-pelan dong, kaki gue pendek nih!”
Angga
mendelik kesal. Ia lalu mengangkat kamera yang tergantung di lehernya,
memfokuskannya pada sekumpulan penari jaipong yang tengah pentas di alun-alun
Museum Fatahillah. “Ye salah sendiri,” ujarnya acuh tak acuh.
Rissa
memanyunkan bibirnya, lalu ikut menatap kumpulan penari yang sedang dipotret
Angga. “Udah seharian kita disini,” ujarnya. “Tapi nggak ada satu berita
menarik pun yang kita dapat!”
“Tugas
kita kan cuma meliput apa aja yang ada di Kota Tua,” sahut Angga. “Nggak perlu
yang ‘wow’ banget lah. Kalem aja.”
Kembali
Rissa memanyunkan bibirnya. Perlahan Rissa berjalan meninggalkan Angga. Ia
menelusuri trotoar di sisi kanan Museum Fatahillah sendirian. Matanya
mencari-cari apapun yang bisa ia jadikan berita. Mungkin kasus pencopetan atau
mungkin ada yang sedang melangsungkan foto pra-nikah disini.
Tingkat
keingintahuan Clarissa memang jauh diatas rata-rata remaja seusianya. Diimbangi
dengan kemampuannya dalam mengolah kata-kata dan kemampuan komunikasinya yang
dinamis, tak heran jika sekarang Clarissa menjadi peserta termuda dalam program
magang yang dibuka oleh sebuah koran nasional. Tentu saja, peserta termuda
kedua adalah Angga, mengingat mereka berdua adalah satu-satunya murid SMA yang
diterima dalam program ini.
Mendadak,
Clarissa membulatkan kedua matanya yang sipit. Ia melihat seorang pria dengan
pakaian lengkap ala tentara berdiri di ujung jalan dengan tegap. Tak jauh
darinya, ada seorang pria berpakaian ala meneer
Belanda. Kedua kakinya yang gempal langsung melangkah ke arah mereka. Untuk
ukuran remaja tujuh belas tahun, Clarissa memang tidak terhitung tinggi. Tingginya
hanya seratus lima puluh empat sentimeter. Membuatnya sering dikira anak SMP,
apalagi didukung dengan kedua pipi bulatnya.
“Umm…
Hai! Boleh minta waktunya sebentar?” tanya Clarissa, langsung pada si pria
berpakaian ala tentara. Namun pria itu hanya diam. Menatap Clarissa dengan
senjata laras panjang terangkat di tangannya.
Sedikit,
Clarissa merasa ngeri. Namun rasa keingintahuannya mengalahkan segalanya. Maka,
ditelannya bulat-bulat rasa takut itu dan mengulangi pertanyaan yang sama. “Boleh
minta waktunya sebentar, Om?”
“Ada
yang bisa dibantu Nak?” seseorang tiba-tiba menepuk pundak Clarissa.
Ia
tersentak, melihat seorang Ibu berbadan gempal dengan dandanan ala noni Belanda
berdiri di belakangnya. Tangan kanannya memegang keranjang berisi bunga plastik
sementara tangan kirinya memegang payung berwarna putih kusam. Pasti Ibu ini
salah satu dari pemain pantonim juga.
“Umm…
Begini Bu, saya Clarissa dari redaksi Koran Aktual. Boleh saya minta waktunya
untuk wawancara?” tanya Clarissa, sedikit ragu.
Ibu
itu mengangkat alisnya tinggi. “Kamu reporter? Kok masih muda?”
Clarissa
tersenyum maklum. Pertanyaan yang selama seminggu belakangan ini diterimanya
saat hendak mewawancarai narasumber. “Saya reporter magang, Bu. Saya memang
masih kelas dua SMA. Ini rekan saya, namanya…”
Kalimat
Clarissa terhenti. Seakan tersadar, ia tersentak dan menyapukan pandangannya ke
segala arah. Gawat! Gue kepisah dari
Angga!
Clarissa
terdiam, wajahnya terlihat panik dan keringat dingin mulai membasahi kedua
tangannya. Tanpa bicara lagi, Clarissa berlari meninggalkan kumpulan pemain
pantonim itu dan bergegas mencari sosok Angga.
Ia berlari
ke tempatnya terakhir tadi bersama Angga. Clarissa ingat betul, Angga tadi
berdiri di dekat jajaran sepeda onthel dan dirinya berdiri di dekat penjual es
dawet ayu. Tempat itu terlihat ramai, namun tak ada sosok Angga dengan kaos
polo hitam dan kacamatanya yang berdiri di sana sambil memainkan lensa
kameranya.
Rissa
mengambil ponselnya dari dalam kantong acid
washed jeans-nya, berharap baterainya masih ada. Mengingat kebiasaannya
yang selalu saja mengisi ulang baterai ponselnya dengan alasan “nggak mau
nelpon siapa-siapa kok.”
Namun
kini, ia merutukki kebodohan dirinya sendiri. Kini ia sangat, sangat butuh
berkomunikasi dengan Angga. Walaupun memiliki rasa keingintahuan yang tinggi,
kemampuan menulis dan verbal yang baik, Clarissa cenderung payah dalam hal
mengingat arah. Dan hal itu terbukti sekarang. Ia benar-benar tak tahu arah,
dan jujur saja. Ia tak tahu jalan pulang.
“Mutun…
angkat telepon gue, Tun…” desis Clarissa ditengah kepanikan.
Tetesan
hujan pertama jatuh di ubun-ubun Clarissa. Ia mendongak. Tetesan hujan kedua
jatuh di dahinya.
“Aduh
bagus banget!” gerutunya. “Dan sekarang hujan? Lengkaplah sudah!”
Clarissa
berlari mencari tempat berteduh terdekat. Ia kemudian merapatkan dirinya ke
gedung salah satu bangunan tua yang ada di sekitar Museum Fatahillah. Kaus
oblong berwarna salem yang dipakainya nyaris basah seluruhnya, membuat sensasi
dingin yang menusuk pada kulit pucatnya. Belum lagi, angin kencang mendadak
bertiup seakan ingin meramaikan penderitaannya. Ia nyaris tak bisa merasakan
ujung kukunya. Kesepuluh jari jemarinya bisa dipastikan mati rasa. Rissa
memasukan satu tangan ke dalam kantong celana jeans-nya, sementara sebelah tangan lagi memegang ponsel, yang
masih mencoba menelpon Angga.
“Aduh
Angga… lo dimana sih?” desis Rissa dengan bibir nyaris beku.
“Kalo
gue bilang di samping lo, kaget nggak?”
Rissa
menoleh. Dan Angga benar-benar berdiri disitu. Ia membawa jaket merah miliknya,
lalu membalutkannya ke tubuh Rissa.
“Maaf
ya lama, tadi gue ngambil jaket dulu di motor,” ujar Angga seraya tersenyum. “Nggak
dingin lagi kan?”
“Apaan
sih, Tun?” ujar Rissa salah tingkah, ia bisa merasakan pipinya memerah.
“Muka
kartun gini tapi dicari-cariin,” goda Angga dengan senyuman jahil.
Clarissa
menunduk, menghindari tatapan mata Angga yang kini disadarinya sangat
menyenangkan. Ia masih bisa merasakan tatapan mata Angga dari balik lensa
kacamatanya. Namun anehnya, Rissa tak merasakan kehangatan yang sama ketika
pacarnya Dio, menatapnya. Kehangatan janggal yang dipancarkan oleh tatapan
Angga, bahkan mampu menghangatkan ujung jari kakinya yang tadinya nyaris
membeku.
“Tun,”
ujar Rissa sambil mengangkat kepalanya. “Gue suka hujan deh.”
Angga
masih menatap Rissa, kali ini alisnya terangkat. “Oh ya? Kenapa?”
“Karena
sehebat dan sederas apapun hujan… pada akhirnya hujan akan kembali pada tanah.
Sama kayak orang pacaran, mau ada rintangan sekuat dan sehebat apapun… ketika
mereka berdua memang ditakdirkan untuk bersama, pasti mereka akan kembali,”
jelas Rissa sambil tersenyum.
“Oh
ya? Kalo kita?” tanya Angga dengan nada jahil.
Giliran
alis Rissa yang terangkat. “Kita? Kenapa kita?”
Angga
terdiam sejenak, lalu memutar badannya menghadap Rissa dan menatapnya
lurus-lurus. “Kalau kita… apa kayak gitu juga? Meskipun sekarang kita nggak
bisa bersama, apakah pada akhirnya kita bakalan kembali?”
“Apaan
sih, Tun? Gue punya pacar…” sahut Rissa cepat.
Angga
mengulum senyum, lalu mengalihkan pandangan menatap rintik hujan yang semakin
menderas. “For now…”
***
Dan
pada akhirnya, hujan akan kembali pada tanah
Hujan
akan kembali ke tempat ia berpijak
Karena
hujan pun tahu
Kemana
ia harus kembali
Selatan Jakarta, pukul 23.55. 31 Desember
2013, sebuah kafe berinterior kayu oak. Seorang lelaki sembilan belas tahunan
dengan kacamata dengan titik-titik embut pada lensanya.
Angga dan Clarissa.
Angga
membuka pintu café dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya membawa
bungkusan berwarna merah muda. Jejak-jejak hujan masih terlihat di beberapa
titik di jaket jeans-nya, dan bulir embun terlihat jelas menaungi kedua lensa
kacamatanya. Angga menyipitkan matanya, berusaha mencari-cari sosok yang
dicarinya di dalam café.
Café berinterior
kayu oak itu mulai hingar bingar dengan perayaan tahun baru. Sejauh mata
memandang, yang bisa ditangkap Angga dari balik lensa kacamatanya adalah
keceriaan orang-orang dengan terompet tahun baru mereka. Suara ledakan petasan
mulai terdengar di langit malam. Meskipun langit terlihat mendung, namun
mendung nampaknya tak sampai pada hati umat manusia.
Ia
mengambil ponselnya. Lalu menekan-nekan sebuah nomor yang bahkan sudah
dihafalnya diluar kepala.
“Halo?”
sahut suara di ujung telepon.
Angga
tersenyum senang, makin senang ketika melihat posisi duduk Clarissa yang
membelakangi dirinya. “Ris? Masih di café?”
“Masih,”
sahut Rissa datar. “Udah selesai sih tulisannya. Abis ini mau nganter ke rumah
editor.”
Angga
berjalan perlahan mendekati tempat duduk Rissa. “Rumahnya dimana?”
“Daerah
Jakarta Kota, pasti macet banget sih ke arah sana. Aku bingung ke sana pake
apa,” ujar Rissa seraya membereskan laptopnya.
“Aku
antar mau nggak?” tawar Angga, seraya berdiri di belakang Rissa.
Rissa
mendadak berdiri, kemudian menoleh ke belakang. Matanya yang kecil membulat
saat ditangkapnya sosok Angga, berdiri di belakangnya dengan jaket jeans yang masih terlihat jelas
jejak-jejak hujan di atasnya. Mulut Rissa menganga, layaknya orang yang
kehabisan kata-kata.
“Lima…”
terdengar hitungan mundur yang menandakan tahun akan segera berganti.
“Hai
Ris,” ujar Angga sambil nyengir lebar. Tangannya menyodorkan bungkusan merah
muda di tangannya.
“Empat….”
Clarissa
diam di tempat, menatap Angga dengan mata berkaca-kaca.
“Tiga….”
“Ris?”
panggil Angga hati-hati. Clarissa masih diam tak bergerak.
“Dua…”
“Rissa?”
“Satuuuuu!”
Mendadak
Rissa memeluk Angga, erat sekali. Angga bisa merasakan pundak Rissa naik turun
dan jaket jeans-nya yang basah karena air mata Rissa. Angga berdiri limbung,
namun kemudian ia berusaha menyeimbangkannya. Tubuhnya yang kurus ternyata kuat
juga menahan tubuh Rissa yang cenderung gembil.
“Kamu
kemana aja sih?” seru Rissa, menatap Angga dengan kedua matanya yang masih
basah.
“Kuliah?”
jawab Angga, agak bingung. “Memang kemana lagi?”
“Seenggaknya
kamu ke Jakarta dong!” protes Rissa. “Kamu tahu nggak sih, webcam dan chatting
sama kamu setiap malam tuh nggak cukup buat aku!” Rissa melepaskan pelukannya,
lalu menghapus air matanya dengan punggung tangan.
“Terus
aku harus gimana Ris? Aku udah pulang kan sekarang?” tanya Angga, menatap Rissa
dengan lembut.
Rissa
tidak menjawab. Ia hanya menatap Angga dengan tatapan dalam, kemudian berjalan
menuju kursi dan menghempaskan tubuhnya disana. Membiarkan matanya menatap
kembang api yang menyala-nyala di langit malam dan keceriaan lautan manusia
yang terpantul jelas dalam pandangannya.
Angga
mendekati Rissa, lalu kembali menyodorkan bungkusan merah muda yang ada di
tangannya. “Happy Birthday my Dearest
Rissa. Selamat tanggal satu Januari.”
***
Tak
selamanya hari digulung badai
Namun
tak selamanya hari dihiasi pelangi
Karena
pada realitanya,
Tak
selamanya kesedihan akan bertahan
Karena
kebahagiaan akan abadi merengkuhmu
Ketika
kamu bersabar dan bersyukur.
Januari 2024. Perjalanan dari Jakarta menuju
Bandung. Ditengah rintik gerimis
yang meninggalkan titik-titik embun di kaca
mobil Angga.
Angga, Rissa, Mahameru, dan Rinjani.
“Ih
Kakak, itu bantal aku jangan diambil!” seru Jani, anak perempuan berambut ikal
sebahu yang dikuncirnya dengan kunciran berwarna hijau terang. Mata kecil
Rinjani membulat, memelototi abangnya yang mendekap bantal berbentuk kepala
kucing kesayangannya dengan wajah jahil.
“Kan
Kakak cuma pinjem sebentar, pelit banget sih kamu Jan!” bela Mahameru, yang lebih
suka dipanggil Juno, karena ia lahir di
bulan Juni.
“Juno,
Jani! Jangan berantem terus dong,” tegur Rissa, ia melongokkan kepalanya ke jok
belakang. Kedua alisnya berkerut di balik kacamata berbingkai cokelatnya. “Kasihan
Papa, terganggu kan nyetirnya!”
“Tapi
Ma…” ujar Jani dengan wajah memelas. “Kak Juno iseng banget, masa bantal aku
diambil-ambil sama dia?”
“Juno,
Jani… daripada berantem terus, kalian mau dengerin cerita Papa nggak?” sahut
Angga, sambil tetap berkonsentrasi pada kemudi.
Juno
dan Jani terlihat antusias, kilatan-kilatan cahaya terpancar dari mata mereka
yang bening. “Mau Pa, mau!” sahut Juno semangat.
“Cerita
tentang apa, Pa?” tanya Jani.
“Tentang
hujan,” sahut Angga, sembari tersenyum melirik Rissa yang ada di sampingnya. “Tentang
filosofi hujan.”
“Filosofi?”
tanya Juno, kedua alisnya berkerut.
“Jadi…”
Angga memulai ceritanya. “Kalian tahu nggak kenapa air hujan nggak pernah
habis? Air menguap dari lautan, lalu berkondensasi jadi awan, setelah itu turun
menjadi hujan, diserap oleh tanah dan berputar lagi menjadi siklus yang sama?”
“Takdir
Pa!” sahut Jani dengan yakin.
“Iya,
pasti karena takdir!” ujar Juno menyatakan kesetujuannya.
Rissa
tak bisa menahan tawanya. Ia tertawa lepas, sambil memandangi rintik-rintik
hujan yang membentuk lapisan embun di kaca depan mobil. Pandangan
berganti-ganti antara rintik hujan dan tetesan embun.
“Mama
tahu kenapa…” sahut Rissa pada akhirnya. “Karena hujan, tahu kemana harus
pulang dan karena awan, tahu dimana harus menurunkan hujan. Sama seperti kita,
seperti kehidupan kita. Kita harus tahu dimana kita menempatkan diri, karena
pada akhirnya… kita memang akan kembali. Ke tempat yang tepat, bersama orang
yang tepat. Membentuk sebuah siklus kehidupan, sampai pada akhirnya…”
“Nggak
ada akhirnya, karena siklus hujan mungkin baru berhenti nanti…” sambung Angga
sambil tersenyum. “Saat kita nggak bisa berjalan bersama lagi.”
Juno
dan Jani nampak tidak mengerti dengan cerita yang disampaikan Angga. Namun
kedua bocah itu kini mengarahkan padangan mereka ke arah rintik hujan di luar
sana yang semakin menderas.
Clarissa
melirik kedua anaknya, yang kini kompak menatap hujan dalam diam. Ia tersenyum,
menghembuskan nafas. Mengingat-ingat seluruh rentetan kejadian yang terjadi
padanya selama sepuluh tahun belakangan ini. Mengingat-ingat jutaan filosofi
cinta dan kehidupan yang tercipta dari satu orang yang sama.
Ia
percaya, jika sesungguhnya siklus hujan tak akan pernah berhenti berputar. Air,
menguap, menjadi awan, turun ke bumi, lalu meresap ke dalam tanah. Sama seperti
cinta. Bertemu, berkenalan jatuh cinta, berkomitmen, lalu karena satu
kesalahan, bertingkah seperti tak mengenal satu sama lain. Namun bersama orang
yang tepat, bukan hujan badai yang akan dihasilkan di akhir siklus, melainkan
sebuah pelangi.
Karena kehidupan, layaknya sebuah siklus hujan. Akan ada pelangi, di akhir badai yang menerjang. Sama seperti kebahagiaan, yang pasti akan Tuhan berikan di setiap episode kehidupan.
Dan pada realitanya... hujan pun ikut berfilosofi.
Saya suka siklus air yang disamakan dengan siklus cinta.. :)
ReplyDeletetombol subscribe sebelah mana? :D
ReplyDelete