Wednesday, September 2, 2015

Hello from Jatinangor!

Hai hai!

WHOA it's been a long time since the last time I wrote here. (and I use that sentence as an opening for like every posts in this blog lol) Tapi emang bener sih, udah lama banget rasanya gue nggak nulis di blog huhu sampe ada sarang laba-laba lucu gitu di blog gue. Yha.

Kalo kalian perhatiin, gue pertama kali ngeblog pas kelas 6 SD. And guess what, I'm going to university now! Time sure flies huh? Coba kalian tebak, major apa yang gue ambil di perkuliahan gini. Well peeps, kalo lo nebak gue ambil komunikasi, manajemen komunikasi, perfilman atau jurnalistik... Kalian salah total.

Karena gue ended up jadi anak political science a.ka Ilmu Politik.

Mungkin sebagian dari kalian bakalan kayak "Hah, Dilla? Ilmu Politik?" Well.. and again, kalo lo nebak gue sekarang jadi manusia berjaket kuning (because of my lifetime obsession to University of Indonesia lol) kalian juga salah...

Karena gue sekarang adalah:

Cie jadi anak Jatinangor cie.


Banyak banget orang yang bertanya-tanya ke gue. Well, entah karena emang peduli atau memang cuma penasaran. But they are wondering "Why unpad and why political science?" 

Bahkan banyak banget yang mempertanyakan "Kenapa sih kok pindah jurusan dari IPA ke IPS?"

I will try my best to answer down those questions here. So... here we go.


I don't mean to boasting about myself, but I successfully managed myself to get both of UI and UNPAD. Bahkan ketika gue daftar hukum di Trisakti lewat jalur raport, gue juga diterima (dengan ranking 1 yang sampai sekarang masih dipertanyakan sama bokap nyokap gue.) Keadaan bener-bener  berbeda ketika gue mendaftar di major yang berhubungan dengan science, jangankan diterima, dilirik pun tidak. 

Dari dulu gue selalu merasa selalu salah jurusan. Gue merasa udah menyia-nyiakan tiga tahun gue yang berharga di SMA untuk belajar hal yang korelasinya yang bahkan gue nggak lihat untuk apa di dunia nyata. They said that science is a definite subject, tapi gue sendiri merasa nggak bisa untuk memastikan "rumus apa yang harus gue pake di hitungan ini" "teori mana yang harus diterapkan" dan sebagainya.

Dan saat itulah gue merasa ada yang salah sama gue and I decided untuk pindah jurusan. Mempelajari hal yang lebih gue sukai dan bisa mempertajam life-skill yang udah Tuhan berikan untuk gue.

Second question: "why I choose Unpad over UI?" And the answer is simple: "maturity."

UI has been my lifetime dream. Gue udah bermimpi-mimpi untuk bisa kuliah di UI bahkan dari gue kelas 2 SD. Setiap gue pergi ke UI entah untuk lari pagi atau sekedar sholat di masjid UI, gue selalu berdoa sama Allah.

"Ya Allah, semooga Universitas Indonesia adalah jodohku ya Allah. Mudahkanlah segala urusan hamba dan tempatkanlah hamba di tempat yang tidak akan memberatkan kedua orang tua hamba."

Gue inget banget, waktu pengumuman SIMAK UI (yang notabene gue udah memegang Ilmu Politik UNPAD di tangan gue) gue seneng jingkrak-jingkrakan begitu tau gue lolos SIMAK UI. Tapi itu nggak bertahan lama, karena jurusan yang gue dapat adalah program vokasi.

Just so you know, gue nggak merendahkan ataupun mengecilkan semua mahasiswa dan mahasiswi vokasi maupun diploma di luar sana. But my parents want me to holds a academical degree so bad. Bahkan kalo bisa sampe S2 dan S3. And I fully aware that i can't memaksakan diri gue untuk mengambil program vokasi UI, hanya untuk fulfilling my teenage dream instead of fulfilling my parents dream... that would be a nightmare for me. So I decided, dengan kesadaran penuh gue sebagai orang dewasa, to take the biggest decision in my entire 18 years of life.

Gue juga terus menerus meyakinkan diri gue, kalo Allah swt akan mengabulkan doa hambanya dalam cara yang tidak akan kita duga-duga. Gue percaya Allah mempunyai rencana yang lebih besar, karena itu Ia menempatkan gue di Universitas Padjadjaran.

And now...

Welcome to Jatinangor!



Honestly, pertama kali gue sampe di Jatinangor gue bingung. Beberapa hal yang bikin gue bingung adalah:

1. Kenapa jalanan di Jatinangor one way? (yang di depan Jatos & UNPAD)
2. Kenapa Jatinangor dingin banget?
3. Kenapa di Jatinangor banyak debu?
4. Kenapa di Jatinangor banyak truk dan bis?
5. Kenapa mall di Jatinangor cuma Jatos?
6. Kenapa makanan di Jatinangor murah-murah?

Dan akibat banyaknya debu di Jatinangor, gue sekarang jadi bergantung banget sama yang namanya masker. Bahkan debu-debu itu terakumulasi dan menyebabkan kulit muka gue perlahan namun pasti mengelupas lucu gitu. Jujur, aku sedih.

Prabu Day 1: maskeran all day long karena debu nangor sadis abis sis

Hal-hal yang gue pertanyakan setiap hari juga berkisar antara:

1. Makan apa ya hari ini?
2. Kok abang deliverynya belom dateng ya?
3. Aduh mau minum tapi mager ngambilnya

Ya kebanyakan memang soal perut. Saya memang gembul.

Menu Delivery "Barokah". Penyelamat saya di saat lapar. Terima kasih Barokah. #TeamBarokah

Menjadi anak kost juga membuat gue harus ekstra mandiri. Meskipun kata orang-orang kostan yang gue tempati sekarang adalah kostan anak manja (dengan satpam 24 jam, fingerscan untuk masuk ke gedung, ada cafe, minimarket, karaoke dan fitness di area tempat kost, dan segala macam hal-hal yang membuat kostan gue di cap kost anak manja) tapi tetep aja untuk urusan mengurus kamar dan diri sendiri ga ada yang namanya bisa bermanja-manja ria.

Walaupun di rumah nyokap gue selalu membiasakan gue untuk ngeberesin kamar, nyapu, ngepel, nyuci piring dan baju, nyetrika dan masak sendiri (Ps: saya mandiri bukan upik abu) tapi tetep aja di hari-hari pertama di Jatinangor gue merasa bingung harus memanage diri gue seperti apa 

Bisa dilihat di gambar di atas kalo ada kain pel bersandar cantik di meja belajar gue. Yes, setiap seminggu sekali gue selalu memaksakan diri gue untuk membersihkan seluruh kamar kost gue. Including beresin kasur, meja, lemari baju, lemari makanan, nyapu, ngepel, beresin kamar mandi dan segala teman-temannya. Capek sih, tapi ngeliat kamar rapi dari hasil jerih payah kita selama seharian tuh... worth it!


Sampai hari ini, kira-kira udah menuju 2 minggu gue menetap di Jatinangor. (Or I should say, Jatinewyork?) Hidup di Jatinangor mengharuskan gue untuk beradaptasi lagi ditengah lautan manusia baru yang hanya segelintir diantara mereka yang gue kenal. Bahkan, awalnya di Jatinangor ini total gue hanya mengenal paling banyak 10 orang . (Adey, Dino, Bia, Icha, Temen-temen MP, Senior dulu di 60, temen SMA) Sisanya? Gue nggak kenal :)

Namun akhirnya, gue menemukan esensi dari yang namanya "Ospek." Ketika ospek inilah gue mengenal teman-teman baru gue. Jujur, hari-hari pertama gue diisi dengan diam karena sekeliling gue penuh dengan orang-orang berlogat "Punten..." "Aku teh juga gitu..." "Ih kamu jangan gitu atuh ah nggak baik" dengan nada bicara alus ala ala sunda gitu.

Sementara aku mah apa atuh anak Jakarta yang kalo ngomong keliatan bawelnya :(

Ketika ospek univ (Prabu) gue lebih banyak diem. Dan jujur saja kakak-kakak senior, dari 4 hari pelaksanaan prabu, aku cuma ikut 2 hari (hehe.) Tapi walaupun ospek universitas gue bolong-bolong, gue berhasil bertahan di ospek fakultas alias POSTMO!

Group POSTMO gue. Nama kelompoknya Duck. Diplomacy and United of Cool Kids. Azik.

Dan entah kenapa, gue lebih merasa nyambung dengan group osfak gue. Teori gue sih, karena mahasiswa di tiap fakultas itu cenderung sama tipenya. Kalo di gue, Fakultas Geologi tuh isinya cowo-cowo lucu berbadan atletis, FIKOM isinya teteh teteh badai, FK isinya mahasiswa kalem bermasa depan cerah.

Kalo FISIP? Mahasiswa-mahasiswa cerdas yang idealis dan pandai berdebat namun easy going. Azik (2)

Di POSTMO ini gue kenalan sama banyak banget temen baru dari segala jurusan yang ada di FISIP UNPAD. Dan hebatnya, walaupun baru ketemu tapi kita langsung bisa menemukan chemistry diantara anggota kelompok. 

Mungkin ini semua efek dari kita harus nyari barang-barang yang well... menurut gue nggak aneh tapi susah didapatkan di Jatinangor (super bubur, pocari sweat sachet, snack-snack lucu gitu) dalam waktu kurang dari 12 jam. Belum lagi, harus bikin alas duduk berbentuk segi delapan dengan diameter 60 cm yang harus sama seangkatan, nametag berwarna biru FISIP, pita biru FISIP... Ya jangan tanya saya warna biru FISIP tuh kayak gimana. Pokoknya biru, biru FISIP.

Dan setelah melewati satu hari yang penuh perjuangan, finally we survived POSTMO 2015! Jujur ya, gue trauma banget sama kakak-kakak senior yang memakai ban merah di tangannya. Mereka adalah kakak-kakak komdis yang setiap pagi tugasnya neriakin kita "Putri! Jalannya dipercepat!"

Awalnya gue merasa serem dan ngeri banget sama kakak-kakak ini. Namun belakangan, gue dapet cerita dari salah satu senior kalau sebenarnya kakak-kakak komdis itu aslinya baik-baik banget. Dan ternyata, kakak-kakak komdis harus melewati rangkaian latihan selama 6 bulan lamanya untuk menjadi panitia POSTMO. Terharu dengernya, ternyata kakak-kakak ini melakukan pengorbanan yang jauh lebih besar dari apa yang kita lakukan...


Kelompok DUCK setelah berhasil melewati POSTMO. Coba cari gue yang manaa!

Ya itulah kira-kira awal masa kehidupan gue di Jatinewyork. And guess what, dari yang awalnya nggak punya temen, I made lots of new friends now! Dan serunya, kita berasal dari daerah yang berbeda-beda.

Kalo lagi ngumpul, gue suka ketawa geli sendiri ngedengerin logat bicara kita yang masih ikut ke daerah masing-masing. Tapi pada akhirnya itu yang membuat gue sadar, kalo Indonesia gak sesempit Jakarta hingga ke Cinere ataupun Depok. Namun Indonesia adalah seluas Sabang sampai Merauke, dengan segala kultur budaya dan keunikannya.

Oiya... Gue mau berpesan sama adek-adek 2016 dan seterusnya... (kalo ada yang mampir baca post ini) Jangan takut untuk bermimpi setinggi-tingginya. Karena bener banget, gue pernah denger quote dari Bung Karno yang bilang : "Bermimpilah setinggi-tingginya, karena jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang."

And guys, you should set your target high. Jangan takut sama orang yang bilang "Ah nilai lo cuma segitu lo ga akan bisa masuk universitas ini!" atau "Ah passing grade prodi ini kan tinggi, emangnya lo bisa?"
You should know that, gak ada satu orang pun yang bisa menjamin kalo "passing grade tinggi hanya bisa diraih orang yang pintar." Namun gue percaya dengan teori yang mengatakan, jika lebih enak menjadi orang beruntung ketimbang orang pintar.

And I guess I am one of them.

I feel so damn lucky that I am here. I don't know what is His plan yet, but I'm pretty sure that it is a good one. 

Salam gemes dari Jatinangor!


Ps: Di next post gue akan menceritakan perjalanan gue (azik) menelusuri kota Bandung dengan harga yang relatif murah dan pas dengan kantong mahasiswa. Sooo stay tuned!

Sunday, September 14, 2014

Bukan Puisi Cinta.

Dua mata yang selalu menatapku
Lima detik lebih lama dari orang kebanyakan
Dua mata yang selalu menatapku
Dengan cara yang tak mampu ku deskripsikan

Ketika logika memaksa untuk bertindak
Tetapi hati telah mengambil kehendak
Aku ingin percaya, namun terpaksa menolak
Aku ingin percaya, suatu saat padamu kelak

Karena sesungguhnya
Ada sesuatu yang jelas berbeda
Ada rasa yang samar jelas tertera
Ada dinamika rasa diantara konspirasi logika

Biarkan aku menikmati rasa ini
Rasa manis yang terkadang perih 
Pahit
Seakan berdarah
Seakan ia berteriak
Seakan ia menangis

Seakan ia memohon kamu agar berhenti menyakiti
Iya
Kamu
Kamu
Siapa lagi?

Pemeran utama dari semua ini
Dalang utama dari dongeng realita ini
Aku ingin percaya padamu, Cinta
Namun logika senantiasa mencengkram bahuku
"Jangan, dasar bodoh."

Mungkin kamu berpikir sedang membaca sebuah puisi cinta
Tentang cinta, rasa, mimpi dan angan-angan
Namun nyatanya, ini bukanlah sebuah puisi cinta
Karena,
Nyatanya tidak ada cinta diantara kita.

Ditulis oleh: Faradilla Adwina
Minggu, 14 September 2014
18 : 56  WIB.

:)

Friday, July 25, 2014

Catatan Senja

Hi there!

Whoah, it's been a long time though since the last time I posted something here! Got several things to do actually in the real life. Some school stuffs, organization stuffs and.... a maturity process stuffs.

What?

Did I mentioned about some maturity process stuffs there?

You bet!

Gue mulai menyadari kalo hidup ini layaknya sebuah siklus hujan.(I wrote a love story about that couple of months ago, I even posted that here. Scroll down if you don't mind!) 

Ya, sebuah siklus hujan.

Kita awalnya dilahirkan, suci dan bening tanpa dosa sedikitpun. Layaknya tetesan embun yang berada di permukaan daun dikala fajar menyingsing. Lama kelamaan, ketika fajar mulai naik, berganti dengan sang surya yang dengan dermawan membagikan sinarnya kepada dunia.

Tetesan embun perlahan berevaporasi. Naik ke atas langit. Bergabung bersama awan-awan.
Sama seperti manusia.

Sedikit demi sedikit menapaki kehidupan. Mempelajari berbagai hal yang baru-- jika hidup tak melulu mengenai kebahagiaan, tak melulu mengenai canda dan tawa. 

Sejenak kemudian, awan mulai terasa lebih berat. Kemudian lebih berat. Lebih berat... dan sangat berat.

Awan berubah menjadi dingin

Dan kemudian, rintik pertama hujan pun jatuh.

Sama seperti manusia.

Seiring berjalannya dengan tiap detik kehidupan, semakin berkurang waktu kita di dunia. Langkah kita menjadi semakin berat. Dan pada akhirnya...

Berhenti sama sekali. Total.

Dan seiring dengan berhentinya langkah kita, akan ada ribuan pasang mata yang akan menyumbangkan air matanya. Sama seperti tetesan air hujan, yang turun dengan jumawa dari gumpalan awan gelap.

Siklus ini akan terus berlanjut. Terus. Pasti.

Sampai pada akhirnya.

Dunia ini yang akan berakhir.


Gue mulai menyadari kalo waktu kita di dunia ini emang nggak lama. Umumnya, paling lama 70 tahun. Nabi Muhammad saw. pun usianya cuma sampai 63 tahun. Gue mulai menyadari kalo hidup ini nggak sepantasnya diisi dengan kesedihan dan air mata. Dengan kebencian dan kedengkian. 

Dengan segala perbuatan yang nantinya akan memperberat langkah kita di dunia setelah dunia.

Gue sering sedih sekaligus miris kalo ngeliat temen-temen gue yang (in my opinion ya) wasting their time by doing something stupid gitu. No hard feelings, tapi jujur aja gue suka sedih banget kalo liat temen-temen gue yang ngerokok...

I mean like, buat apa buang-buang uang untuk beli barang yang akan ngerusak badan kita sendiri? Coba deh, kalian kalkulasikan  uang yang kalian habiskan cuma buat ngerubah sebatang rokok itu jadi abu.

Misalnya yaaah.
Satu bungkus rokok harganya Rp 12.000-,
Satu hari kalian beli satu bungkus rokok.
Satu minggu = 12.000 x 7 = 84.000
Satu bulan = 84.000 x 4 = 336.000
Satu tahun = 336.000 x 12 = 4.032.000

Meeeen! Dalam setahun kalian bisa saving uang 4 juta kalo kalian nggak ngerokok! :(
Coba kita list dari uang 4 juta itu kalian bisa ngapain aja...
-Beli tiket DWP? Gilssss bisa banget
-Beli iphone baru? 4s kayaknya juga dapet
-Nonton konser EXO? Gilalooo dapet paling depan kali nih
-Shopping di F21? Apalagi datengnya pas lagi sale... :3
-Makan eskrim di Ron's Laboratory? Sampe mabok juga bisa.....
-Makan mi aceh pake canai kari? Jangankan makan mi aceh, ke Aceh aja kalian bisa.

Besides that... gue juga sering ikutan sedih kalo liat temen gue yang kerjaannya dari pagi sampe pagi lagi galau terus.

OKAY PEOPLE LET'S ADMIT SOMETHING HERE!

Gue juga sering galau. Seriously. Especially when I miss someone that bad... I sometimes cried because of it. (HAHA SHIZ LOL NO. Gak sampe nangis cuma sedih aja. But seriously, gue kalo kangen sama orang sedihnya parah.)

Tapi gue berusaha untuk mengatasi rasa galau gue dengan satu cara... yang ampuh banget.

Pray for them.

I always pray for their happiness, their safety, and their health. Even I'm not there for them, I know that Allah will always protect them. (Now playing: Dear God - Avenged Sevenfold.)

Yayaya enough with that.

Suka sedih kalo liat temen-temen yang kalo update path / line berbau galau terus.... Come on, peeps! I know that your life is not that miserable! Cheer up, life is too short to be sad! (and life is too short tough to debating about Prabowo vs Jokowi AAAAALLLLLL the time.)

Well people, since God only blessed us with one chance of life... let's make this one rock, shall we? Masih banyak hal yang lebih penting yang bisa kita lakuin selain galau 24/7 and damaging ourselves! Make friends, not enemy. Spread love, not hate.

The apple of my life: OSIS - MPK SMAN 60 Jakarta 2013 - 2014
Left to right:
Dwi, Me, Keke, Isan, Adel, Laras.


Longest term of relationship I've ever had,
a five years of friendship with Panglima 2012.

  
And life is too short to took pretty pictures!

Monday, February 3, 2014

Bahagia itu Sederhana.

Hi readers! Malam ini, sama kayak malam-malam sebelumnya. Hujan turun dengan cantik, anggun namun deras. Dan entah kenapa, gue lagi ngedengerin Let Her Go-nya The Passenger.

 
Fyi aja, this pic is originally made by me. 
Jangan tanya kenapa gue bikin gambar ginian trololol. 

Jadi, gue mau sharing pengalaman gue yang bener-bener... precious. I swear it's literally the most precious yet rare event that happened in my 17th years old life. (Btw, me turned  17 last January. Yayyyerrr, legal age!)

I started to lose my life spirit to be honest. Well, jujur aja, akhir-akhir ini gue udah ngerasa nggak semangat banget ketemu yang namanya sekolah, matematika, fisika, kimia dan... angka. Pelajaran di jurusan IPA yang sahabatan sama gue bener-bener cuma biologi. (Well, aku padamu biologi!)

Salah jurusan? Nggak juga. Gue memandang IPA sebagai batu loncatan gue ke depannya, bukan tumpuan hidup gue sampai akhir zaman nanti. Even bukan itu yang mau gue bahas disini, intinya gue mulai ngerasa mau jadi full time journalist / writer aja suatu saat nanti. Dan hal itu membuat gue berpikir dengan muka troll face yang penuh tanda tanya.

"Kalo gue nantinya jadi penulis / jurnalis, buat apa gue kemaren belajar kesetimbangan kimia sampe muntah-muntah?"

Cukup-cukup. Kenyataannya statement gue diatas adalah sangat amat lebay.  Gue masih mempertanyakan kegunaan gue berada di tengah murid-murid berotak eksak di jurusan IPA hingga kemarin, (Minggu, 2 Februari 2014) gue mendapatkan pengalaman yang kalo katanya Jebraw,

Pe to the Cah

Semua ke-pecah-an ini berawal dengan bergabungnya gue di Volunter MuDA Kompas MuDA batch V mulai bulan Januari kemarin. (Post tentang Volunter MuDA batch V menyusul, guys!) Sebagai volunteer, gue berkesempatan buat ngunjungin teman-teman kita yang ada di Sanggar Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Jujur aja, gue excited banget karena ini pertama kalinya gue berkunjung ke tempat semacam ini. 

Tapi begitu sampai di pemukiman padat penduduk yang ada di bantaran Kali Ciliwung, gue langsung melongo, literally. Men, di kampung ini daerahnya bener-bener padat dan belum lagi tanahnya yang masih bercampur lumpur sisa banjir kemarin. Di kiri perkampungan ada Kali Ciliwung dan di kanan perkampungan ada rel kereta. Dan ditengah-tengahnya ada perkampungan. Perkampungan yang mereka sebut sebagai rumah, dengan segala kehidupan mereka.

 "Selamat datang di Kampung kami,
kehidupan kami."

Yang tambah bikin gue melongo adalah, mereka nggak punya halaman atau taman di belakang rumah mereka. Melainkan, kali. Yap, halaman belakang rumah mereka adalah Kali Ciliwung yang legendaris. Nggak heran kalau daerah ini menjadi langganan banjir. Bahkan, ketika kemaren hujan turun rintik-rintik aja, arus kali langsung menderas. Ngeri banget rasanya ngebayangin saat Kali Ciliwung meluap.

Volunter MuDA Kompas MuDA batch V di Sanggar Ciliwung. 
See? Di belakang tempat kita berdiri berbatasan langsung dengan... 
Kali! :o

 Dan gue bahkan sempet wondering...
Ini Jakarta apa Venezuela.
  
Gue nggak bisa kebayang banget gimana kehidupan sehari-hari mereka disini. Selain rawan banjir, sanitasi dan kebersihan di daerah ini bisa banget dibilang jauh dari layak. Tapi hebatnya, penduduk disini masih bisa ketawa dan bercanda satu sama lain. Mereka juga ramah-ramah, bahkan nggak segan untuk nyapa kita. "Neng, apa kabar neng?"

Salah satu warga yang lumayan banyak membagi ceritanya dengan gue adalah Nenek Mursilah. Beberapa kali beliau menyeka air mata yang ingin turun dari kedua bola matanya yang berkaca kaca dan menyiratkan betapa pedihnya kehidupan yang sedang ia jalani.

"Banjir yang datang biasanya nggak setinggi ini, Neng. Nenek kemarin sampai hampir tenggelam ketika banjir datang. Masih sakit rasanya kepala Nenek gara-gara sempat menelan air luapan Kali (Ciliwung). Nenek biasanya juga makan nasi pake garam saja sudah bersyukur, tapi sekarang Nenek bener-bener nggak punya apa-apa lagi Neng. Mau makan juga mesti nunggu bantuan nasi bungkus. Itu pun datangnya sore, Neng..."
Penuturan Nenek Mursilah membuat kami seketika tercengang. Di Jakarta? Ibukota metropolitan yang sedang menggembar-gemborkan pembangunan Mass Rapid Transportation masih ada warganya yang kelaparan?

"Bantuan kesehatan juga baru datang Neng. Biasanya Nenek berobat ke Puskesmas, tapi tetap saja butuh ongkos kan... Nenek sebenarnya mau kalo misalnya disuruh pindah. Tetapi kalau di rumah susun, Nenek takut, Neng. Nenek kan sudah tua, susah kalo harus naik-naik ke lantai atas. Belum lagi kalo tempatnya jauh dari rumah Nenek sekarang."

 "Neng, kapan-kapan main ke sini lagi ya biar Nenek gak kesepian."
Nenek Mursilah, tersenyum walau dalam kepedihan.


Tak ada yang bisa kami lakukan selain menghela napas panjang dan mengelus tangan keriput milik Nenek Mursilah. Nyeri rasanya hati ini mendengar penuturan beliau. Mungkin relokasi ke rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) yang digembar-gemborkan pemerintah bisa menjadi salah satu solusi, tetapi di satu sisi jika mereka masih harus membayar sewa RUSUNAWA, tidaklah heran  jika pada akhirnya mereka lebih memilih tinggal di rumah sederhana yang berbatasan langsung dengan Kali Ciliwung? Belum lagi lokasi RUSUNAWA yang menurut mereka tidak strategis dari tempat mereka bekerja.
Kami kemudian bertemu dengan Mbak Ivana, salah satu relawan yang ada di Sanggar Ciliwung. Penuturan Mbak Ivana sedikit membuat kami lega. Beliau mengusulkan daripada di relokasi ke RUSUNAWA yang penuh pro-kontra, mengapa tidak dibuat Kampung Susun saja?



Mbak Ivana; lentera di tengah temaram.


"Prinsip penduduk disini adalah 'Rumah adalah Tempat Bekerja.' Jika mereka tinggal di RUSUNAWA, dimana mereka harus menaruh gerobak bakso mereka? Atau dimana mereka akan membuka warung? Yang kami usulkan pada pemerintah adalah pembangunan Kampung Susun atau Kampung Deret. Jadi, pembangunan rumah mereka setinggi 3-4 lantai. Sehingga lantai pertama bisa difungsikan sebagai tempat usaha tetapi jika banjir datang mereka masih ada tempat untuk berlindung," tutur Mbak Ivana kepada kami.

 Penyerahan buku bacaan untuk teman-teman di Kampung Ciliwung.
Semoga bermanfaat! ;-)

Banyak pelajaran yang gue dapetin dari pengalaman hari ini. Yang terpenting adalah, tentang selalu bersyukur. Tentang betapa pentingnya kita menyadari nikmat Tuhan yang telah Ia limpahkan kepada kita, tetapi mungkin terkadang kita terlalu sibuk melihat keatas sehingga lupa menengok apa yang ada di bawah. 
Tuhan Maha Adil. Ia tidak pernah menciptakan sesuatu yang keseluruhannya bersifat negatif atau merugikan. Seperti misalnya teman-teman di bantaran Kali Ciliwung, meski diterjang banjir dan tak bisa dipungkiri, mereka memikul beban hidup yang lebih berat dibandingkan orang kebanyakan, mereka masih tetap bisa tertawa dan tersenyum--dan disitulah seharusnya kita menghargai arti kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Mungkin yang kami tinggalkan untuk mereka hanyalah sekedar buku-buku bacaan. Tetapi kami berharap, mereka dapat menemukan secercah semangat dan inspirasi baru dari lembaran-lembaran buku yang akan mereka baca. Mungkin semangat baru untuk mengubah perkampungan mereka menjadi lebih baik? Siapa yang tahu. Karena sesungguhnya Tuhan Maha Adil dan setiap insan patut untuk bahagia.

Karena masa depan mereka, ada di tanganmu.
:-)