Sunday, September 14, 2014

Bukan Puisi Cinta.

Dua mata yang selalu menatapku
Lima detik lebih lama dari orang kebanyakan
Dua mata yang selalu menatapku
Dengan cara yang tak mampu ku deskripsikan

Ketika logika memaksa untuk bertindak
Tetapi hati telah mengambil kehendak
Aku ingin percaya, namun terpaksa menolak
Aku ingin percaya, suatu saat padamu kelak

Karena sesungguhnya
Ada sesuatu yang jelas berbeda
Ada rasa yang samar jelas tertera
Ada dinamika rasa diantara konspirasi logika

Biarkan aku menikmati rasa ini
Rasa manis yang terkadang perih 
Pahit
Seakan berdarah
Seakan ia berteriak
Seakan ia menangis

Seakan ia memohon kamu agar berhenti menyakiti
Iya
Kamu
Kamu
Siapa lagi?

Pemeran utama dari semua ini
Dalang utama dari dongeng realita ini
Aku ingin percaya padamu, Cinta
Namun logika senantiasa mencengkram bahuku
"Jangan, dasar bodoh."

Mungkin kamu berpikir sedang membaca sebuah puisi cinta
Tentang cinta, rasa, mimpi dan angan-angan
Namun nyatanya, ini bukanlah sebuah puisi cinta
Karena,
Nyatanya tidak ada cinta diantara kita.

Ditulis oleh: Faradilla Adwina
Minggu, 14 September 2014
18 : 56  WIB.

:)

Friday, July 25, 2014

Catatan Senja

Hi there!

Whoah, it's been a long time though since the last time I posted something here! Got several things to do actually in the real life. Some school stuffs, organization stuffs and.... a maturity process stuffs.

What?

Did I mentioned about some maturity process stuffs there?

You bet!

Gue mulai menyadari kalo hidup ini layaknya sebuah siklus hujan.(I wrote a love story about that couple of months ago, I even posted that here. Scroll down if you don't mind!) 

Ya, sebuah siklus hujan.

Kita awalnya dilahirkan, suci dan bening tanpa dosa sedikitpun. Layaknya tetesan embun yang berada di permukaan daun dikala fajar menyingsing. Lama kelamaan, ketika fajar mulai naik, berganti dengan sang surya yang dengan dermawan membagikan sinarnya kepada dunia.

Tetesan embun perlahan berevaporasi. Naik ke atas langit. Bergabung bersama awan-awan.
Sama seperti manusia.

Sedikit demi sedikit menapaki kehidupan. Mempelajari berbagai hal yang baru-- jika hidup tak melulu mengenai kebahagiaan, tak melulu mengenai canda dan tawa. 

Sejenak kemudian, awan mulai terasa lebih berat. Kemudian lebih berat. Lebih berat... dan sangat berat.

Awan berubah menjadi dingin

Dan kemudian, rintik pertama hujan pun jatuh.

Sama seperti manusia.

Seiring berjalannya dengan tiap detik kehidupan, semakin berkurang waktu kita di dunia. Langkah kita menjadi semakin berat. Dan pada akhirnya...

Berhenti sama sekali. Total.

Dan seiring dengan berhentinya langkah kita, akan ada ribuan pasang mata yang akan menyumbangkan air matanya. Sama seperti tetesan air hujan, yang turun dengan jumawa dari gumpalan awan gelap.

Siklus ini akan terus berlanjut. Terus. Pasti.

Sampai pada akhirnya.

Dunia ini yang akan berakhir.


Gue mulai menyadari kalo waktu kita di dunia ini emang nggak lama. Umumnya, paling lama 70 tahun. Nabi Muhammad saw. pun usianya cuma sampai 63 tahun. Gue mulai menyadari kalo hidup ini nggak sepantasnya diisi dengan kesedihan dan air mata. Dengan kebencian dan kedengkian. 

Dengan segala perbuatan yang nantinya akan memperberat langkah kita di dunia setelah dunia.

Gue sering sedih sekaligus miris kalo ngeliat temen-temen gue yang (in my opinion ya) wasting their time by doing something stupid gitu. No hard feelings, tapi jujur aja gue suka sedih banget kalo liat temen-temen gue yang ngerokok...

I mean like, buat apa buang-buang uang untuk beli barang yang akan ngerusak badan kita sendiri? Coba deh, kalian kalkulasikan  uang yang kalian habiskan cuma buat ngerubah sebatang rokok itu jadi abu.

Misalnya yaaah.
Satu bungkus rokok harganya Rp 12.000-,
Satu hari kalian beli satu bungkus rokok.
Satu minggu = 12.000 x 7 = 84.000
Satu bulan = 84.000 x 4 = 336.000
Satu tahun = 336.000 x 12 = 4.032.000

Meeeen! Dalam setahun kalian bisa saving uang 4 juta kalo kalian nggak ngerokok! :(
Coba kita list dari uang 4 juta itu kalian bisa ngapain aja...
-Beli tiket DWP? Gilssss bisa banget
-Beli iphone baru? 4s kayaknya juga dapet
-Nonton konser EXO? Gilalooo dapet paling depan kali nih
-Shopping di F21? Apalagi datengnya pas lagi sale... :3
-Makan eskrim di Ron's Laboratory? Sampe mabok juga bisa.....
-Makan mi aceh pake canai kari? Jangankan makan mi aceh, ke Aceh aja kalian bisa.

Besides that... gue juga sering ikutan sedih kalo liat temen gue yang kerjaannya dari pagi sampe pagi lagi galau terus.

OKAY PEOPLE LET'S ADMIT SOMETHING HERE!

Gue juga sering galau. Seriously. Especially when I miss someone that bad... I sometimes cried because of it. (HAHA SHIZ LOL NO. Gak sampe nangis cuma sedih aja. But seriously, gue kalo kangen sama orang sedihnya parah.)

Tapi gue berusaha untuk mengatasi rasa galau gue dengan satu cara... yang ampuh banget.

Pray for them.

I always pray for their happiness, their safety, and their health. Even I'm not there for them, I know that Allah will always protect them. (Now playing: Dear God - Avenged Sevenfold.)

Yayaya enough with that.

Suka sedih kalo liat temen-temen yang kalo update path / line berbau galau terus.... Come on, peeps! I know that your life is not that miserable! Cheer up, life is too short to be sad! (and life is too short tough to debating about Prabowo vs Jokowi AAAAALLLLLL the time.)

Well people, since God only blessed us with one chance of life... let's make this one rock, shall we? Masih banyak hal yang lebih penting yang bisa kita lakuin selain galau 24/7 and damaging ourselves! Make friends, not enemy. Spread love, not hate.

The apple of my life: OSIS - MPK SMAN 60 Jakarta 2013 - 2014
Left to right:
Dwi, Me, Keke, Isan, Adel, Laras.


Longest term of relationship I've ever had,
a five years of friendship with Panglima 2012.

  
And life is too short to took pretty pictures!

Monday, February 3, 2014

Bahagia itu Sederhana.

Hi readers! Malam ini, sama kayak malam-malam sebelumnya. Hujan turun dengan cantik, anggun namun deras. Dan entah kenapa, gue lagi ngedengerin Let Her Go-nya The Passenger.

 
Fyi aja, this pic is originally made by me. 
Jangan tanya kenapa gue bikin gambar ginian trololol. 

Jadi, gue mau sharing pengalaman gue yang bener-bener... precious. I swear it's literally the most precious yet rare event that happened in my 17th years old life. (Btw, me turned  17 last January. Yayyyerrr, legal age!)

I started to lose my life spirit to be honest. Well, jujur aja, akhir-akhir ini gue udah ngerasa nggak semangat banget ketemu yang namanya sekolah, matematika, fisika, kimia dan... angka. Pelajaran di jurusan IPA yang sahabatan sama gue bener-bener cuma biologi. (Well, aku padamu biologi!)

Salah jurusan? Nggak juga. Gue memandang IPA sebagai batu loncatan gue ke depannya, bukan tumpuan hidup gue sampai akhir zaman nanti. Even bukan itu yang mau gue bahas disini, intinya gue mulai ngerasa mau jadi full time journalist / writer aja suatu saat nanti. Dan hal itu membuat gue berpikir dengan muka troll face yang penuh tanda tanya.

"Kalo gue nantinya jadi penulis / jurnalis, buat apa gue kemaren belajar kesetimbangan kimia sampe muntah-muntah?"

Cukup-cukup. Kenyataannya statement gue diatas adalah sangat amat lebay.  Gue masih mempertanyakan kegunaan gue berada di tengah murid-murid berotak eksak di jurusan IPA hingga kemarin, (Minggu, 2 Februari 2014) gue mendapatkan pengalaman yang kalo katanya Jebraw,

Pe to the Cah

Semua ke-pecah-an ini berawal dengan bergabungnya gue di Volunter MuDA Kompas MuDA batch V mulai bulan Januari kemarin. (Post tentang Volunter MuDA batch V menyusul, guys!) Sebagai volunteer, gue berkesempatan buat ngunjungin teman-teman kita yang ada di Sanggar Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Jujur aja, gue excited banget karena ini pertama kalinya gue berkunjung ke tempat semacam ini. 

Tapi begitu sampai di pemukiman padat penduduk yang ada di bantaran Kali Ciliwung, gue langsung melongo, literally. Men, di kampung ini daerahnya bener-bener padat dan belum lagi tanahnya yang masih bercampur lumpur sisa banjir kemarin. Di kiri perkampungan ada Kali Ciliwung dan di kanan perkampungan ada rel kereta. Dan ditengah-tengahnya ada perkampungan. Perkampungan yang mereka sebut sebagai rumah, dengan segala kehidupan mereka.

 "Selamat datang di Kampung kami,
kehidupan kami."

Yang tambah bikin gue melongo adalah, mereka nggak punya halaman atau taman di belakang rumah mereka. Melainkan, kali. Yap, halaman belakang rumah mereka adalah Kali Ciliwung yang legendaris. Nggak heran kalau daerah ini menjadi langganan banjir. Bahkan, ketika kemaren hujan turun rintik-rintik aja, arus kali langsung menderas. Ngeri banget rasanya ngebayangin saat Kali Ciliwung meluap.

Volunter MuDA Kompas MuDA batch V di Sanggar Ciliwung. 
See? Di belakang tempat kita berdiri berbatasan langsung dengan... 
Kali! :o

 Dan gue bahkan sempet wondering...
Ini Jakarta apa Venezuela.
  
Gue nggak bisa kebayang banget gimana kehidupan sehari-hari mereka disini. Selain rawan banjir, sanitasi dan kebersihan di daerah ini bisa banget dibilang jauh dari layak. Tapi hebatnya, penduduk disini masih bisa ketawa dan bercanda satu sama lain. Mereka juga ramah-ramah, bahkan nggak segan untuk nyapa kita. "Neng, apa kabar neng?"

Salah satu warga yang lumayan banyak membagi ceritanya dengan gue adalah Nenek Mursilah. Beberapa kali beliau menyeka air mata yang ingin turun dari kedua bola matanya yang berkaca kaca dan menyiratkan betapa pedihnya kehidupan yang sedang ia jalani.

"Banjir yang datang biasanya nggak setinggi ini, Neng. Nenek kemarin sampai hampir tenggelam ketika banjir datang. Masih sakit rasanya kepala Nenek gara-gara sempat menelan air luapan Kali (Ciliwung). Nenek biasanya juga makan nasi pake garam saja sudah bersyukur, tapi sekarang Nenek bener-bener nggak punya apa-apa lagi Neng. Mau makan juga mesti nunggu bantuan nasi bungkus. Itu pun datangnya sore, Neng..."
Penuturan Nenek Mursilah membuat kami seketika tercengang. Di Jakarta? Ibukota metropolitan yang sedang menggembar-gemborkan pembangunan Mass Rapid Transportation masih ada warganya yang kelaparan?

"Bantuan kesehatan juga baru datang Neng. Biasanya Nenek berobat ke Puskesmas, tapi tetap saja butuh ongkos kan... Nenek sebenarnya mau kalo misalnya disuruh pindah. Tetapi kalau di rumah susun, Nenek takut, Neng. Nenek kan sudah tua, susah kalo harus naik-naik ke lantai atas. Belum lagi kalo tempatnya jauh dari rumah Nenek sekarang."

 "Neng, kapan-kapan main ke sini lagi ya biar Nenek gak kesepian."
Nenek Mursilah, tersenyum walau dalam kepedihan.


Tak ada yang bisa kami lakukan selain menghela napas panjang dan mengelus tangan keriput milik Nenek Mursilah. Nyeri rasanya hati ini mendengar penuturan beliau. Mungkin relokasi ke rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) yang digembar-gemborkan pemerintah bisa menjadi salah satu solusi, tetapi di satu sisi jika mereka masih harus membayar sewa RUSUNAWA, tidaklah heran  jika pada akhirnya mereka lebih memilih tinggal di rumah sederhana yang berbatasan langsung dengan Kali Ciliwung? Belum lagi lokasi RUSUNAWA yang menurut mereka tidak strategis dari tempat mereka bekerja.
Kami kemudian bertemu dengan Mbak Ivana, salah satu relawan yang ada di Sanggar Ciliwung. Penuturan Mbak Ivana sedikit membuat kami lega. Beliau mengusulkan daripada di relokasi ke RUSUNAWA yang penuh pro-kontra, mengapa tidak dibuat Kampung Susun saja?



Mbak Ivana; lentera di tengah temaram.


"Prinsip penduduk disini adalah 'Rumah adalah Tempat Bekerja.' Jika mereka tinggal di RUSUNAWA, dimana mereka harus menaruh gerobak bakso mereka? Atau dimana mereka akan membuka warung? Yang kami usulkan pada pemerintah adalah pembangunan Kampung Susun atau Kampung Deret. Jadi, pembangunan rumah mereka setinggi 3-4 lantai. Sehingga lantai pertama bisa difungsikan sebagai tempat usaha tetapi jika banjir datang mereka masih ada tempat untuk berlindung," tutur Mbak Ivana kepada kami.

 Penyerahan buku bacaan untuk teman-teman di Kampung Ciliwung.
Semoga bermanfaat! ;-)

Banyak pelajaran yang gue dapetin dari pengalaman hari ini. Yang terpenting adalah, tentang selalu bersyukur. Tentang betapa pentingnya kita menyadari nikmat Tuhan yang telah Ia limpahkan kepada kita, tetapi mungkin terkadang kita terlalu sibuk melihat keatas sehingga lupa menengok apa yang ada di bawah. 
Tuhan Maha Adil. Ia tidak pernah menciptakan sesuatu yang keseluruhannya bersifat negatif atau merugikan. Seperti misalnya teman-teman di bantaran Kali Ciliwung, meski diterjang banjir dan tak bisa dipungkiri, mereka memikul beban hidup yang lebih berat dibandingkan orang kebanyakan, mereka masih tetap bisa tertawa dan tersenyum--dan disitulah seharusnya kita menghargai arti kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Mungkin yang kami tinggalkan untuk mereka hanyalah sekedar buku-buku bacaan. Tetapi kami berharap, mereka dapat menemukan secercah semangat dan inspirasi baru dari lembaran-lembaran buku yang akan mereka baca. Mungkin semangat baru untuk mengubah perkampungan mereka menjadi lebih baik? Siapa yang tahu. Karena sesungguhnya Tuhan Maha Adil dan setiap insan patut untuk bahagia.

Karena masa depan mereka, ada di tanganmu.
:-)