Saturday, June 29, 2013

Ketika Germis Menderas

Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang film 'Cinta Dalam Kardus' yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013.
:-)







Cinere, 2 September 2015

Sebuah kamar yang didominasi furnitur berwarna merah muda, dengan cahaya mentari menerobos dari sela-sela jendela…

Kakiku menendang kardus terakhir yang baru saja selesai kututup bagian atasnya dengan selotip berwarna cokelat muda. Aku menghela napas lega. Kegiatan sortir menyortir barang dan memasukannya dalam kardus yang kulakukan selama tiga jam terakhir ini akhirnya selesai. Pandanganku tertumbuk pada sebuah kardus—kotak lebih tepatnya—berbentuk persegi panjang dengan warna merah marun yang sudah agak usang di atas tempat tidur.

Segala kenangan tentang scrap book, lembaran-lembaran foto, gerimis yang romantis, dan langit senja berlompatan dalam memoriku. Aku memejamkan mata—berharap waktu bisa terulang—dan aku, bisa selalu bersandar di bahumu.

Selamanya.
***

­Cinere, pertengahan Oktober 2012…

Sebuah kamar yang didominasi furnitur berwarna merah muda, dengan rintik gerimis menuruni kaca jendela dengan anggun…

Jari jemariku menelusuri kaca jendela yang dilapisi embun dingin. Semilir angin sore itu menggelitik pipiku dengan lembut, memaksaku untuk menjauh dari kaca jendela yang kunilai terlalu dingin. Tanganku meraih segelas teh hangat di meja belajar, menyesapnya perlahan—membiarkannya menuruni kerongkonganku dan meninggalkan sebuah rasa hangat yang menyenangkan.

Namun tidak sehangat senyumanmu.

Ponselku berdering. Dengan namamu tertera pada layarnya. Seketika itu juga aku bisa merasakan pipiku menghangat dan sebuah perasaan senang—yang tak pernah bisa kudefinisikan—meluap-luap dalam hati.

Hai! Pasti lagi bete:-3

Aku tersenyum. Tersenyum mengetahui fakta jika pesan sesingkat itu darimu bisa membuatku bahagia. Sebut aku gila, tapi kamulah ladang kebahagiaanku.

Iya… hujan sih:-(

Jariku lincah mengetikkan pesan balasan. Aku menghela napas, menunggu balasan darimu. Kusadari jika saat itu mataku tak bisa berhenti menatap puluhan—bahkan mungkin ratusan foto kita dari kamera polaroid-­ku. Ratusan foto itu kugantung dengan penjepit kertas dalam sebuah tali yang tergantung dari salah satu ujung kamarku, ke ujung yang lainnya.

Entah sudah berapa momen yang kita abadikan bersama. Di kelas, di mall, di taman, di pantai, dan favoritku—di sawah belakang perumahan kita, saat kita dengan bodohnya menunggu matahari terbenam disana.

Aku juga menyadari, scrap book milikku, yang awalnya berisi potongan-potongan foto dan artikel artis idolaku kini berubah menjadi kumpulan foto kita. Fotomu, lebih tepatnya, dan segala kenangan tentang kita.

Pip! Sebuah pesan masuk ke ponselku setelah lima belas menit berlalu.

Daripada bete, mendingan kamu lihat di luar pagar dan temukan ada apa disana…

Aku terhenyak, dan tanpa memedulikan gerimis yang semakin menderas, aku berlari keluar. Sebuah kotak berwarna merah marun ada disana.

I bet you don’t know how much I love you. I love you!

Sebaris kalimat dalam tulisan acak-acakan yang sangat kukenal—tulisan tanganmu, dalam kartu merah jambu yang ada diatasnya. Aku bisa merasakan mataku menghangat, terharu dengan tingkah lucumu, mengingat kita bahkan belum genap enam belas tahun.

***

Cinere, 2 September 2015

 Sebuah kamar yang didominasi furnitur berwarna merah muda, dengan air mata yang menuruni pipi seorang gadis…

Tanganku memegang sebuah kotak merah marun dengan tangan gemetar. Setetes air mata jatuh, membasahi selembar potret dirimu di dasar kotak. Entah kapan aku bisa melepaskan diri dari bayangmu. Berada bermil-mil jauhnya darimu saat kuliah nanti, mungkin akan membuatku lupa akan dirimu…

Cinta pertamaku.