Monday, February 3, 2014

Bahagia itu Sederhana.

Hi readers! Malam ini, sama kayak malam-malam sebelumnya. Hujan turun dengan cantik, anggun namun deras. Dan entah kenapa, gue lagi ngedengerin Let Her Go-nya The Passenger.

 
Fyi aja, this pic is originally made by me. 
Jangan tanya kenapa gue bikin gambar ginian trololol. 

Jadi, gue mau sharing pengalaman gue yang bener-bener... precious. I swear it's literally the most precious yet rare event that happened in my 17th years old life. (Btw, me turned  17 last January. Yayyyerrr, legal age!)

I started to lose my life spirit to be honest. Well, jujur aja, akhir-akhir ini gue udah ngerasa nggak semangat banget ketemu yang namanya sekolah, matematika, fisika, kimia dan... angka. Pelajaran di jurusan IPA yang sahabatan sama gue bener-bener cuma biologi. (Well, aku padamu biologi!)

Salah jurusan? Nggak juga. Gue memandang IPA sebagai batu loncatan gue ke depannya, bukan tumpuan hidup gue sampai akhir zaman nanti. Even bukan itu yang mau gue bahas disini, intinya gue mulai ngerasa mau jadi full time journalist / writer aja suatu saat nanti. Dan hal itu membuat gue berpikir dengan muka troll face yang penuh tanda tanya.

"Kalo gue nantinya jadi penulis / jurnalis, buat apa gue kemaren belajar kesetimbangan kimia sampe muntah-muntah?"

Cukup-cukup. Kenyataannya statement gue diatas adalah sangat amat lebay.  Gue masih mempertanyakan kegunaan gue berada di tengah murid-murid berotak eksak di jurusan IPA hingga kemarin, (Minggu, 2 Februari 2014) gue mendapatkan pengalaman yang kalo katanya Jebraw,

Pe to the Cah

Semua ke-pecah-an ini berawal dengan bergabungnya gue di Volunter MuDA Kompas MuDA batch V mulai bulan Januari kemarin. (Post tentang Volunter MuDA batch V menyusul, guys!) Sebagai volunteer, gue berkesempatan buat ngunjungin teman-teman kita yang ada di Sanggar Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Jujur aja, gue excited banget karena ini pertama kalinya gue berkunjung ke tempat semacam ini. 

Tapi begitu sampai di pemukiman padat penduduk yang ada di bantaran Kali Ciliwung, gue langsung melongo, literally. Men, di kampung ini daerahnya bener-bener padat dan belum lagi tanahnya yang masih bercampur lumpur sisa banjir kemarin. Di kiri perkampungan ada Kali Ciliwung dan di kanan perkampungan ada rel kereta. Dan ditengah-tengahnya ada perkampungan. Perkampungan yang mereka sebut sebagai rumah, dengan segala kehidupan mereka.

 "Selamat datang di Kampung kami,
kehidupan kami."

Yang tambah bikin gue melongo adalah, mereka nggak punya halaman atau taman di belakang rumah mereka. Melainkan, kali. Yap, halaman belakang rumah mereka adalah Kali Ciliwung yang legendaris. Nggak heran kalau daerah ini menjadi langganan banjir. Bahkan, ketika kemaren hujan turun rintik-rintik aja, arus kali langsung menderas. Ngeri banget rasanya ngebayangin saat Kali Ciliwung meluap.

Volunter MuDA Kompas MuDA batch V di Sanggar Ciliwung. 
See? Di belakang tempat kita berdiri berbatasan langsung dengan... 
Kali! :o

 Dan gue bahkan sempet wondering...
Ini Jakarta apa Venezuela.
  
Gue nggak bisa kebayang banget gimana kehidupan sehari-hari mereka disini. Selain rawan banjir, sanitasi dan kebersihan di daerah ini bisa banget dibilang jauh dari layak. Tapi hebatnya, penduduk disini masih bisa ketawa dan bercanda satu sama lain. Mereka juga ramah-ramah, bahkan nggak segan untuk nyapa kita. "Neng, apa kabar neng?"

Salah satu warga yang lumayan banyak membagi ceritanya dengan gue adalah Nenek Mursilah. Beberapa kali beliau menyeka air mata yang ingin turun dari kedua bola matanya yang berkaca kaca dan menyiratkan betapa pedihnya kehidupan yang sedang ia jalani.

"Banjir yang datang biasanya nggak setinggi ini, Neng. Nenek kemarin sampai hampir tenggelam ketika banjir datang. Masih sakit rasanya kepala Nenek gara-gara sempat menelan air luapan Kali (Ciliwung). Nenek biasanya juga makan nasi pake garam saja sudah bersyukur, tapi sekarang Nenek bener-bener nggak punya apa-apa lagi Neng. Mau makan juga mesti nunggu bantuan nasi bungkus. Itu pun datangnya sore, Neng..."
Penuturan Nenek Mursilah membuat kami seketika tercengang. Di Jakarta? Ibukota metropolitan yang sedang menggembar-gemborkan pembangunan Mass Rapid Transportation masih ada warganya yang kelaparan?

"Bantuan kesehatan juga baru datang Neng. Biasanya Nenek berobat ke Puskesmas, tapi tetap saja butuh ongkos kan... Nenek sebenarnya mau kalo misalnya disuruh pindah. Tetapi kalau di rumah susun, Nenek takut, Neng. Nenek kan sudah tua, susah kalo harus naik-naik ke lantai atas. Belum lagi kalo tempatnya jauh dari rumah Nenek sekarang."

 "Neng, kapan-kapan main ke sini lagi ya biar Nenek gak kesepian."
Nenek Mursilah, tersenyum walau dalam kepedihan.


Tak ada yang bisa kami lakukan selain menghela napas panjang dan mengelus tangan keriput milik Nenek Mursilah. Nyeri rasanya hati ini mendengar penuturan beliau. Mungkin relokasi ke rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) yang digembar-gemborkan pemerintah bisa menjadi salah satu solusi, tetapi di satu sisi jika mereka masih harus membayar sewa RUSUNAWA, tidaklah heran  jika pada akhirnya mereka lebih memilih tinggal di rumah sederhana yang berbatasan langsung dengan Kali Ciliwung? Belum lagi lokasi RUSUNAWA yang menurut mereka tidak strategis dari tempat mereka bekerja.
Kami kemudian bertemu dengan Mbak Ivana, salah satu relawan yang ada di Sanggar Ciliwung. Penuturan Mbak Ivana sedikit membuat kami lega. Beliau mengusulkan daripada di relokasi ke RUSUNAWA yang penuh pro-kontra, mengapa tidak dibuat Kampung Susun saja?



Mbak Ivana; lentera di tengah temaram.


"Prinsip penduduk disini adalah 'Rumah adalah Tempat Bekerja.' Jika mereka tinggal di RUSUNAWA, dimana mereka harus menaruh gerobak bakso mereka? Atau dimana mereka akan membuka warung? Yang kami usulkan pada pemerintah adalah pembangunan Kampung Susun atau Kampung Deret. Jadi, pembangunan rumah mereka setinggi 3-4 lantai. Sehingga lantai pertama bisa difungsikan sebagai tempat usaha tetapi jika banjir datang mereka masih ada tempat untuk berlindung," tutur Mbak Ivana kepada kami.

 Penyerahan buku bacaan untuk teman-teman di Kampung Ciliwung.
Semoga bermanfaat! ;-)

Banyak pelajaran yang gue dapetin dari pengalaman hari ini. Yang terpenting adalah, tentang selalu bersyukur. Tentang betapa pentingnya kita menyadari nikmat Tuhan yang telah Ia limpahkan kepada kita, tetapi mungkin terkadang kita terlalu sibuk melihat keatas sehingga lupa menengok apa yang ada di bawah. 
Tuhan Maha Adil. Ia tidak pernah menciptakan sesuatu yang keseluruhannya bersifat negatif atau merugikan. Seperti misalnya teman-teman di bantaran Kali Ciliwung, meski diterjang banjir dan tak bisa dipungkiri, mereka memikul beban hidup yang lebih berat dibandingkan orang kebanyakan, mereka masih tetap bisa tertawa dan tersenyum--dan disitulah seharusnya kita menghargai arti kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Mungkin yang kami tinggalkan untuk mereka hanyalah sekedar buku-buku bacaan. Tetapi kami berharap, mereka dapat menemukan secercah semangat dan inspirasi baru dari lembaran-lembaran buku yang akan mereka baca. Mungkin semangat baru untuk mengubah perkampungan mereka menjadi lebih baik? Siapa yang tahu. Karena sesungguhnya Tuhan Maha Adil dan setiap insan patut untuk bahagia.

Karena masa depan mereka, ada di tanganmu.
:-)